Rabu, 25 Februari 2009

AKSESIBILITAS PEMBELAJARAN BAGI TUNANETRA

AKSESIBILITAS PEMBELAJARAN BAGI TUNANETRA
DADAN RACHMAYANA

A. Siswa Tunanetra
Tunanetra berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua kata, yaitu “tuna” yang berarti kurang, dan “netra” yang berati mata atau penglihatan. Jadi istilah “tunanetra” diartikan sebagai “kurang penglihatan”, yaitu suatu kondisi dimana mata sebagai indera penglihatan tidak atau kurang berfungsi sebagaimana mestinya sehingga mengakibatkan timbulnya kesulitan atau hambatan dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Kondisi seperti ini disebabkan oleh adanya gangguan secara nyata pada organ mata dan atau syarafnya. Oleh karena itu, istilah lain untuk tunanetra adalah “gangguang penglihatan” yang sering digunakan dalam literatur berbahasa asing dengan istilah “visual impairment”. Jadi istilah “siswa tunanetra” di Indonesia” sama dengan istilah yang digunakan dalam berbagai literatur asing, yaitu “children with visual impairment” sehingga diartikan siswa yang mengalami gangguan penglihatan.




Sementara itu, Nesker Simmons, dkk. (2003: 26) mengklasifikasikan gangguan penglihatan ke dalam: (a) Totally blind, yaitu tidak dapat membedakan terang dari gelap; (b) Light perception dapat membedakan terang dari gelap; (c) Form or motion perception dapat melihat bentuk atau gerakan pada jarak beberapa kaki; (d) Guiding vision memiliki cukup penglihatan untuk membantu siswa dalam berpindah tempat (bergerak).
Dari kedua definisi di atas dapat dijelaskan bahwa tunanetra atau gangguan penglihatan diklasifikasikan berdasarkan dua aspek, yaitu aspek medis yang didasarkan pada pengukuran, dan aspek fungsional yaitu didasarkan pada bagaimana siswa memanfaatkan penglihatannya untuk menguasai lingkungan.
Jadi definisi siswa tunanetra dari aspek pendidikan adalah siswa yang mengalami gangguan penglihatan sedemikian rupa yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses pendidikannya, sehingga memerlukan tulisan Braille bagi yang buta dan tulisan yang dicetak tebal atau diperbesar atau menggunakan alat bantu khusus bagi yang masih memiliki sisa penglihatan. Perlu ditambahkan pula bahwa siswa tunanetra juga merupakan bagian dari istilah siswa kebutuhan khusus yang sekarang sedang trend digunakan oleh para ahli pendidikan luar biasa.


B. Pengaruh Ketunanetraan Terhadap Perkembangan Siswa
Siswa tunanetra adalah siswa yang mengalami gangguan kedua penglihatan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan hambatan dalam melakukan berbagai kegiatannya sehari-hari, termasuk kegiatan belajar mengajar di sekolah tanpa manggunakan alat khusus, material khusus, latihan khusus, dan atau bantuan lain secara khusus. Banyak diantara siswa tunanetra memiliki prestasi akademis yang tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini disebabkan bukan semata-mata oleh kecerdasannya yang rendah, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pendidik/guru terhadap karakteristik belajar siswa tunanetra tersebut, sehingga mereka (para pendidik/guru) tidak dapat memilih dan menentukan serta melakssiswaan strategi belajar mengajar yang tepat sesuai dengan karakteristik belajar. Kondisi ini sering terjadi di sekolah-sekolah reguler yang guru-gurunya belum memiliki kemampuan secara khusus untuk menangani siswa tunanetra. Mereka memberikan pelayanan pendidikan yang biasa dilakukan terhadap siswa awas secara klasikal, dan siswa tunanetra sering tidak mendapatkan perhatian secara khusus apabila mendapatkan hambatan dalam mengikuti proses belajar mengajarnya di kelas. Sebaliknya, apabila para pendidik yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menangani siswa di sekolah memahami karakteristik belajarnya, sehingga dapat memilih, menentukan dan melakssiswaan strategi belajar mengajar dengan tepat, maka tidak akan menutup kemungkinan siswa tunanetra akan mencapai prestasi akademis bahkan non akademis melebihi prestasi akademis yang dicapai oleh siswa awas.
Oleh karena itu, guru perlu memahami bahwa siswa tunanetra memiliki hambatan dalam mengamati objek secara visual, walaupun ada sisa penglihatannya tetapi sedikit sekali membantu dalam mengikuti kegiatan belajarnya di sekolah apabila tidak dioptimalkan penggunaannya. Hilangnya fungsi penglihatan pada siswa tunanetra akan berpengaruh terhadap beberapa aspek berikut ini, yaitu:
1. Perkembangan Sosial dan Emosional
Sosial dan emosional merupakan dua aspek penting yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain dalam kehidupan manusia. Kedua aspek ini terkait dengan kehidupannya dalam suatu lingkungan dimana terdapat orang lain selain dirinya. Manusia dilahirkan ke dunia selain sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial yang artinya bahwa tidak ada seorang pun memperoleh kehidupan yang menyenangkan dan membahagiakan apabila orang lain tidak pernah berperanan terhadapnya. Lebih jauh, kehidupan sehari-hari setiap orang menampilan kebersamaannya dengan orang lain. Hampir setiap kegiatan seseorang melibatkan berperanannya orang lain, seperti seseorang duduk di kursi yang telah disediakan oleh orang lain, dan sebaginya. Dengan demikian, menurut Prayitno (1994: 16) perkembangan kesosialan pada diri individu yang bersangkutan memungkinkan sesorang mampu berinteraksi, berkomunikasi, bergaul, bekerja sama dan hidup bersama orang lain.
Di dalam lingkungan sosial, interkasi dan komunikasi biasanya akan terjalin dan terus menerus dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan yang alami. Namun tidak demikian halnya dengan siswa tunanetra yang mengalami gangguan penglihatan, proses perkembangan interaksi dan komunikasinya mungkin tidak dapat terbina dan/atau dikembangkan lebih lanjut. Dengan hilangnya fungsi penglihatan yang baik akan menimbulkan keterbatasannya menjelajahi semua isi baik benda atau orang lain yang ada di lingkungannya. Siswa tunanetra akan selalu menunggu aksi dari benda atau orang lain sebelum melakukan reaksi. Jadi mereka akan bergerak atau merespon apabila ada stimulus terlebih dahulu yang datang. Dengan demikian, kemampuan inisiatif untuk melakukan kegiatan cenderung rendah atau mungkin tidak ada. Kondisi yang dialami siswa tunanetra itu bahkan dapat mengakibatkan kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Apabila kondisi ini terus menerus terjadi tanpa ada upaya pembinaan, maka siswa tunanetra akan sekaligus mengalami gangguan dalam aspek emosinya, seperti kehilangan rasa harga diri, kurang percaya diri, dan merasa rendah diri. Kondisi seperti ini tentu saja akan menurunkan motivasi belajarnya, sehingga mereka berpikir bahwa belajar tidak akan merubah nasibnya
2. Perkembangan Bahasa
Gangguan penglihatan pada siswa tunanetra juga akan berpengaruh terhadap perkembangan bahasa, terutama dalam penguasaan konsep dan arti/makna. Menurut Elstner yang dikutip oleh Mason dan McCall (Djaja Rahadja, 1997: 26) menyatakan bahwa bayi yang mengalami gangguan penglihatan cenderung untuk menggunakan bahasa dalam cara yang berbeda dari bayi-bayi yang awas. Seorang bayi yang awas akan menggunakan bahasa tidak hanya untuk maksud komunikasi, tetapi juga untuk penguasaan konsep, sedangkan siswa dengan gangguan penglihatan penggunaan utamanya untuk maksud komunikasi, dan tidak untuk penguasaan konsep. Selanjutnya Mills (A. Nawawi, 2003) menyatakan bahwa siswa buta tetap pada tingkat echolalia (mengulang bunyi yang sama berulang kali) untuk periode yang panjang, dan cenderung ke arah verbalisme (penggunaan kata yang tidak didasarkan pada pengalamannya).
Siswa dengan gangguan pengligatan nampaknya tidak dapat memperoleh struktur formal, atau ‘syntax’ bahasa, dengan relatif ringan. Bagaimanapun, ketiadaan stimulus visual nampaknya akan memungkinkan timbulnya kesalahan artikulasi diantara siswa buta.
Hal ini bermanfaat jika orang tua, perawat/pengasuh, dan para guru dapat mendengar secara seksama perkembangan bahasa siswa, pasti bahwa siswa dapat berartikulasi dengan bunyi yang benar, dan kemudian mendorong siswa untuk berartikulasi bunyi secara benar melalui permainan kata, bernyanyi dan bersajak.
3. Perkembangan Kognitif
Menurut Lowenfeld yang dikutip oleh Kingsley dalam Mason dan McCall (Djaja Rahadja,1997: 26) menyatakan bahwa ketunanetraan pada seseorang akan mengakibatkan tiga keterbatasan dasar dalam fungsi kognitif, yaitu: (a) dalam lingkup dan keanekaragaman pengalaman (in the range and varety of the child’s experiences); (b) dalam kemampuan berpindah-pindah (in the ability to move); (c) dalam interkasi dengan lingkungan (in the interaction with the environment).
Keterbatasan dalam lingkup dan keanekaragaman pengalaman. Hilangnya fungsi penglihatan pada siswa tunanetra memaksa dirinya untuk menggantungkan pengamatannya tentang dunia luar pada indera-indera yang masih berfungsi, seperti pendengaran, penciuman, pengecap, perabaan dan kinestetik, serta sisa penglihatan apabila masih ada. Namun indera-indera ini tidak bisa memberikan gambaran yang utuh di luar jangkauan fisiknya. Indera pendengaran mungkin bisa mengenal suatu objek hanya apabila objek itu bersuara, dan apabila tidak ada suara, maka objek itu tidak ada artinya. Begitu pula dengan indera penciuman yang hanya dapat memberikan jarak atau arah dari suatu objek, tetapi tidak bisa memberikan gambaran yang konkrit tentang objek itu. Sama halnya dengan kedua indera tersebut di atas, indera perabaan dan kinestetik pun memiliki keterbatasan dalam hal pengamatan, dimana harus terjadi kontak secara langsung dengan objek itu, tanpa ada kontak objek itu pun tidak ada artinya bagi tunanetra. Dan yang terakhir adalah indera pengecapan yang keterbatasannya sama dengan indera perabaan dan kinestetik, yaitu memerlukan kontak secara langsung dan hanya memberikan sifat rasa suatu objek.
Keterbatasan indera inilah yang mengakibatkan adanya keterbatasan pengalaman yang sangat beranekaragam. Hal ini, menurut Hosni (1996: 29) akan mengakibatkan miskinnya konsep-konsep tentang diri, objek dan lingkungannya. Dalam hal ini, Tillman sebagaimana yang dikutip oleh mason dan McCall (1997: 27) juga menyatakan bahwa siswa buta mengalami kegagalan dalam mengintegrasikan seluruh fakta yang berbeda yang mereka pelajari, sehingga setiap item informasi lebih memungkinkan untuk terus dalam kerangka yang terpisah dari setiap item yang lainnya.
Keterbatasan dalam berpindah-pindah. Akibat lain dari kehilangan ketajaman penglihatan secara langsung adalah keterbatasan berpindah dari satu tempat ke tempat lain atau disebut mobilitas. Keterbatasan ini sangat dipengaruhi oleh ketidakmampuannya dalam menentukan posisi dirinya dengan lingkungan dan objeknya, sehingga tidak memahami dimana dia berada, dan harus kemana dia bergerak atau berpindah. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya mengenal dan memahami lingkungan dan objeknya yang terpenting untuk menentukan posisi dirinya berada, dikarenakan miskinnya informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan melalui penggunaan indera-indera yang masih berfungsi. Dengan demikian, siswa tunanetra cenderung merasa ragu dan cemas untuk memulai bergerak dalam berpindah tempat.
Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Hilangnya penglihatan bukan hanya akan mengakibatkan miskinnya informasi tentang dunia luar, tetapi juga mengakibatkan hilangnya rangsangan untuk berinteraksi dengan lingkungan, dan akhirnya tunanetra tidak akan menyadari adanya dunia luar yang beranekaragam. Berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial memerlukan banyak pengalaman konkrit. Pengalaman konkrit akan memberikan gambaran yang jelas tentang lingkungan untuk dipergunakan sebagai dasar dalam melakukan setiap kegiatan interaksi baik dengan lingkungan fisik maupun sosial. Interaksi dengan lingkungan yang didasari dengan informasi yang lengkap akan memungkinkan siswa tunanetra tidak mengalami kegagalan-kegagalan yang mengakibatkan jadi frustasi, melainkan sebaliknya dengan informasi konkrit yang banyak siswa tunanetra justru akan menemukan kepercayaan dirinya untuk melakukan kegiatan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
4. Perkembangan Gerak, Orientasi dan Mobilitas
Istilah orientasi dan mobilitas mempunyai makna khusus bagi siswa tunanetra dan para profesional yang terlibat dalam penanganan siswa ini. Keterampilan orientasi dan mobilitas bertujuan agar siswa tunanetra dapat bepergian dengan aman dan mandiri di lingkungannya baik dengan atau tanpa menggunakan tongkat. Dalam hal ini Toozeyang dikutip Mason dan McCall (Djaja Rahadja,1997: 28) membedakan antara orientasi dan mobilitas. Orientasi adalah kemampuan memahami hubungan antara objek yang satu dengan lainnya – kreasi dari pola mental tentang lingkungan. Sedangkan mobilitas meliputi kecakapan dari suatu keterampilan dan teknik yang memungkinkan seorang tunanetra untuk bepergian secara mudah di lingkungannya.
Dari pengertian di atas, jelas bahwa keterampilan orientasi dan mobilitas harus menjadi suatu keterampilan yang mutlak harus dikuasai oleh siswa tunanetra apabila dia menghendaki dirinya bisa hidup secara wajar dalam lingkungannya. Hal ini mengingat bahwa siswa tunanetra tidak dapat dengan mudah memonitor gerakannya dan mungkin juga memiliki kesulitan memahami apa yang terjadi ketika mereka bergerak atau menjangkau sebuah dahan, bertolak pinggang atau berguling.
Tanpa penglihatn yang jelas siswa tunanetra mungkin mengalami kesulitan dalam menciptkan suatu mental map tentang keadaan sekelilingnya. Tanpa intervensi yang tepat, mereka mungkin tidak mengetahui kemana arah untuk pergi atau bagaimana menemukan jalan untuk mencapai tujuannya. Ketidaktentuan tentang keadaan sekelilingnya menunjukan kurangnya percaya diri dalam menjelajahi lingkungan. Kurang efektifnya penglihatan mungkin juga menghilangkan sumber motivasi penting bagi siswa yang sesungguhnya mungkin mereka tidak dapat melihat objek yang menarik, yang akan mendorong mereka untuk berusaha bergerak secara perlahan menuju ruangan atau ke luar ruangan. Oleh karena itu, siswa tunanetra menunjukan keterlambatan dalam perkembangan gerak.
C. Pemahaman Konsep Dasar Orientasi dan Mobilitas.
Banyak kesulitan yang ditemui oleh anak tunanetra dalam mengenal dan memahami lingkungannya. Salah satunya dikarenakan konsep-konsep yang dimilikinya tidak berkembang ataupun sama sekali tidak memiliki konsep dasar yang sangat diperlukan untuk perkembangan orientasinya. Bagi yang mengalami tunanetra ssetelah lahir, dengan sendirinya akan memiliki konsep dasar, karena kesempatan mengenal atau memperoleh informasi yang diperlukan itu terekam oleh kesan visual, seperti diketahui bahwa indera visual dapat mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dalam satu kesempatan.
Konsep dasar ini memegang peranan penting dalam menentukan perkembangan orientasi dan mobilitas serta daya fikir yang luas. Lalu apa sebenarnya konsep dasar itu?. Bila kita lihat secara etimologi konsep, Dadan Racmayana (2001:8), mengartikan sebagai “gambaran mental seseorang dalam suatu hal”, sedangkan dasar dapat diartikan “sesuatu yang fundamental atau mendasari sesuatu”. Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep dasar adalah suatu gambaran mental seseorang yangsangat fundaamental dan harus dipelajari dan diketahui.
Semua orang pasti mempunyai konsep, jadi tidak terbatas pada orang normal ataupun orang tunanetra saja. Namun bagi tunanetra konsep ini perlu sekali untuk dikembangkan secara terarah karena konsep itu merupakan tonggak keberhasilan dalam perkembangan orientasi dan mobilitasnya. Sehingga Dadan Rachmayana (2001:10) mengatakan bahwa konsep dasar itu akan lebih baik diperkenalkan dan diberikan pada anak usia peka atau lebih sering disebut masa subur dalam menerima suatu informasi tentang konsep itu. Dan apabila masa itu telah dilewati tanpa adanya kesempatan pemberian konsep, maka selanjutnya akan sulit bagi anak menerima pelajaran itu. Seperti diketahui bahwa untuk menerima suatu pelajaran itu sebaiknya mengikuti fase-fase perkembangan. Begitu pula dengan pemberian konsep-konsep dasar.
1. Jenis-Jenis Konsep Dasar.
Seorang tunanetra pada prinsipnya harus lebih dahulu menguasai konsep yang paling dasar diantara konsep-konsep dasar lainnya, karena dengan konsep yang paing dasar itu dapat dihubungkan dengan konsep lainnya
Menurut Hosni (1995) jenis-jenis konsep dasar yang perlu diketahui oleh tunanetra adalah sebagai berikut :
a. Komponen-komponen persepsi motorik; penggunaan indera lain seperti perabaan, penciuman, pendengaran dan propriosepsi. Sensori propriosepsi adalah kemampuan untuk mengontrol gerakan dan posisi tubuh, mengontrol keseimbangan dan mengontrol keserasian gerak.
b. Konsep Tubuh/Gambaran Tubuh ; merupakan gambaran tubuh atau pengetahuan mengenai bagian-bagian tubuh diri sendiri atau seseorang / orang lain, yang terdiri dari :
1) Bagian-bagian tubuh : Kepala, leher, bahu, dada, perut, punggung, lengan, tangan, pinggul, pantat, lutut, tumit, dsb.
2) Fungsi masing-masing bagian tubuh.
Untuk fungsi ini dapat kita lihat dari aktivitas setiap bagian tubuh terserbut, karena tidak harus selalu sama fungsi setiap bagian tubuh tersebut, ini tergantung pada kebutuhan.
3) Hubungan dengan lingkungan anak tunanetra.
Dalam hal ini bagian-bagian tubuh dihubungkan dengan objek yang ada dilingkungan sekitar, contoh :
 Tangan dapat mengambil benda di bawah.
 Kaki untuk menendang bola.
 Lutut dapat ditekuk.
 Telunjuk dapat untuk menunjuk.
c. Konsep Ukuran, seperti ;
 Kecil  Seruas
 Besar  Sejengkal
 Sedang  Sekaki
 Agak Kecil  Sehasta
 Agak Besar  Sedepa
 Lebih Besar  Sesenti
 Lebih Kecil  Satu meter
 Satu kilometer  Dsb




.
d. Konsep Bentuk
Bentuk-bentuk yang dapat diperkenalkan pada tunanetra adalah sebagai berikut :
 Segi tiga  Segi empat
 Segi lima  Segi delapan
 Limas  Bujur sangkar
 Lonjong  Elips
 Trapesium  Lingkaran
 Kotak  Bulat
 Pipih  Dsb


e. Konsep Permukaan.
Yang dapat digolongkan ke dalam konsep permukaan ini menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan peragaan,misalnya :
 Halus  Kasar
 Agak halus  Agak kasar
 Lebih halus  Lebih kasar
 Licin 
 Tebal  Tipis
 Keras  Lembek/lunak
 Dingin  Panas dsb

f. Konsep warna.
Sebagai pengetahuan, konsep warna dapat diberikan pada tunanetra meskipun terbatas secara verbalisme pada yang buta total, misalnya
 Merah  Putih
 Biru  Kuning
 Hitam  Hijau
 Ungu  Coklat
 Orange  Violet
 Merah muda  Merah tua, dsb

g. Konsep Berat, seperti ;
 Kilo  Ons
 Kuintal  Ringan
 Ton  Berat
 Sedang  dsb

h. Konsep Lokasi, yaitu gambaran mengenai suatu tempat, dalam hal ini menyangkut berbagai lokasi namun sebagai dasar lebih baik diberikan atau dikenalkan tempat-tempat yang mungkin sering dikunjungi serta mudah dijangkau, seperti ;

 Tempat tidur  Kamar tidur
 Kamar tengah  Dapur
 Halaman  Jalan
 Trotoar  Lapangan
 Kebun  Toko
 Pasar  Terminal
 Warung  Rumah sakit
 Bioskop  Taman, dsb

i. Konsep Kegunaan, adalah konsep tentang fungsi dari suatu benda. Jadi bila anak tunantera mengetahui suatu benda hendaknya diperkenalkan pada fungsi benda tersebut, seperti :

1) Seterika beserta fungsinya, yaitu untuk menghaluskan pakaian.
2) Kompor beserta fungsinya, yaitu untuk memasak.
3) Radio beserta fungsinya, yaitu untuk didengarkan.
4) Televisi beserta fungsinya, yaitu untuk ditonton.
5) Tape Recorder beserta fungsinya, yaitu untuk didengarkan dan membaca buku kaset.
6) Sepeda sebagai alat transportasi,
7) Pisau untuk memotong,
8) dll

j. Konsep Posisi.
Konsep posisi menerangkan keberadaan/tempat suatu benda pada suatu ruangan. Contohnya :
 Di bawah  Di atas
 Di kiri  Di kanan
 Di belakang  Di depan
 Di tengah  Di samping
 Terlentang  Tengkurap
 Tenggelam  Mengapung
 Horizontal  Vertikal
 Diagonal  Sejajar

k. Konsep Gerakan.
Konsep ini memperlihatkan suatu gerakan yang dihubungkan dengan tempo, seperti :
 Diam  Bergerak
 Cepat  Lambat
 Lebih cepat  Lebih lambat
 Berjalan  Berlari
 Dapat bergerak  Sedang bergerak
 dll 


l. Konsep Waktu.
Yang dapat digolongkan dalam konsep waktu ini luas sekali, baik itu waktu yang standar maupun yang tidak standar, misalnya:
 Sedetik  Semenit
 Sejam  Sehari
 Seminggu  Sebulan
 Setahun  Sewindu
 Siang  Malam
 Pagi  Senja
 Subuh  Hari ini
 Lusa  Kemarin, dsb

m. Konsep Suara.
1) Berdasarkan sumber suara terdiri dari:
 Suara manusia
 Suara hewan
 Suara / bunyi benda
2) Berdasarkan tekanan suara / warna suara, seperti :
 Keras  Lembut
 Serak  Melengking
 Tinggi  Rendah
 Gemuruh  Gemerisik
 Gaduh  Sunyi, dsb

n. Konsep Rasa.
Konsep ini dapat diketahui melalui indera pengecap, seperti :
 Manis  Pahit
 Sepet  Kecut
 Asin  Tawar
 Pedas  Masam

o. Konsep bau, seperti :
 Apek  Wangi
 Harum  Sengak
 Busuk  Segar

p. Konsep Arah, ialah konsep mengenai arah mata angin dan arah posisi.
 Utara  Selatan
 Barat  Timur
 Tenggara  Barat Daya
 Timur Laut  Barat laut
 Kiri  Kanan
 Depan  Belakang
 Atas  Bawah

q. Persepsi Motorik = Proprioseptik
Untuk mengontrol kemampuan gerak dan komposisi tubuh dan mengontrol keseimbangan dan keserasian gerak.
r. Konsep ruang antar obyek:
 Toposentrik yaitu penggunaan kata-kata depan, misalnya buku ada di atas meja.
 Kartografik yaitu pengaturan ruang tempat secara sistematis, misalnya mobil diparkir di jalan Pajajaran nomor 52.
 Polasentirs yaitu arah mata angin, misalnya mobil diparkir di sebelah utara panti pijat.
s. Konsep hubungan antara diri dengan obyek:
 Egosentris yaitu diri sebagai rujukan, misalnya TV ada di
belakang saya.
 Kartografik, misalnya saya tinggal di jalan Salemba nomor 28.
 Polasentris, misalnya saya berada di sebelah utara gedung Depsos.

2. Fungsi Pengembangan Konsep Dasar Yang Dihubungkan Dengan OM.
Didalam pengembangan konsep dasar, pada dasarnya adalah memfungsikan indera-indera yang masih ada pada tunanetra untuk memperoleh informasi / gambaran tentang sesuatu.
Menurut Ahmad Nawawi (2005) anak tunanetra sering mengalami kesulitan dalam tugas sehari-hari baik dalam hal posisi, lokasi, arah maupun menghubungkan posisi dirinya dengan lingkungannya, bahkan konsep kesadaran ruang yang paling sederhana sekalipun. Kesulitan itu jelas tidak hanya dalam rpogram OM saja, melainkan pula terdapat pada mata-mata pelajaran tertentu yang membutuhkan konsep ruang, jarak dan ukuran.
Dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kesukaran-kesukaran itu adalah akibat dari kurangnya pengembangan konsep. Jadi jelas bahwa konsep sangat menentukan pada keberhasilan program OM dan pelajaran di sekolah. Dengan adanya pengembangan konsep, maka kesulitan itu sedikitnya dapat berkurang. Pada prinsip bahwa antara konsep dengan orientasi dan mobilitas satu dama lain saling berhubungan dan saing menunjang.
Namun perlu diingat pula bahwa konsep itu perlu dikembangkan secara terarah dengan memperhatikan beberapa faktor :
a. Pembawaan (intelegensi)
b. Pergaulan, pengalaman dan latihan
c. Pendidikan.
Makin banyak pengalaman semakin kaya dan berkembang konsep tersebut.

3. Cara Pengembangan Konsep Dasar Bagi Tunanetra.
Pengembangan konsep dasar pada tunanetra pada dasarnya sama dengan pengembangan konsep dasar pada orang awas. Menurut Irham Hosni (1995) dikatakan bahwa pada tunanetra ada beberapa tahapan metode penyampaian yang perlu dilakukan yaitu :
1) Mempelajari benda-benda yang bersifat tetap dan berbeda satu sama lainnya.
2) Mengenal dan memberi nama pada benda-benda tersebut.
3) Mengenal sifat-sifat benda tersebut.
4) Melakukan pada unsur-unsur yang sama dari beberapa pengalaman sensorinya.
Tunanetra tidak memiliki alat organ pengamatan, maka dia tidak dapat melihat objek secara keseluruhan. Untuk dapat mengenali suatu objek tunanetra harus membentuk (memperoleh gambaran) keseluruhan objek dengan mengenali bagian-bagiannya. Dengan demikian apa yang dipelajari melalui perabaan objek menjadi sengat terbatas. Demikian halnya pada objek suara, bila tunanetra tidak memiliki arti baginya dan tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang sudah dipahaminya maka dia tidak akan memberikan reaksi terhadap suara itu.
D. Aksesibilitas dan Pengembangan Konsep Dasar OM Bagi Siswa Tunanetra di Sekolah
1. Pandangan berbagai aliran tentang belajar.
Pendapat Kauchak yang dikutip Rosyada (2004: 92) menyatakan bahwa belajar menurut pandangan aliran Behaviorisme adalah mengubah perilaku siswa dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan tugas guru adalah mengontrol stimulus dan lingkungan belajar agar perubahan mendekati tujuan yang diinginkan, dan guru juga memberi hadiah atau hukuman kepada siswa, yani hadiah diberikan pada siswa byang telah mampu memperlihatkan perubahan bermakna, sedangkan hukuman diberikan pada siswa yang tidak memperlihatkan perubahan yang bermakna. Oleh sebab itu, aliran behaviorisme meletakan proses reinforcement dalam posisi amat penting bagi siswa untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
Selanjutnya Kauchak dalam Rosyada (2004: 92) juga menyatakan bahwa menurut aliran psikologi kognitif belajar adalah mengembangkan berbagai strategi untuk mencatat dan memperoleh berbagai informasi, siswa harus aktif menemukan informasi-informasi tersebut, dan guru bukan mengontrol stimulus, tetapi menjadi patner siswa dalam proses penmuan berbagai informasi dan makna-makna dari informasi yang diperolehnya dalam pelajaran yang mereka bahas dan kaji bersama. Sedangkan menurut aliran constructivisme yang dikembangkan dari psikologi kofgnitif menekankan teorinya bahwa siswa amat berperan dalam menemukan ilmu baru. Constructivisme adalah aliran yang mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada empat komponen kunci, yaitu:
a. Siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan pada mereka.
b. Pelajaran baru sangat tergantung pada pelajaran sebelumnya.
c. Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi sosial.
d. Penugasan-penugasan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses pembelajaran.(Rosyada, 2004: 93)
Bersamaan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan tampaknya paradigma behaviorisme sudah mulai dikritik dengan dikembangkannya aliran construktivisme yang menekankan kepada pola pembelajaran interaktif. Namun secara umum menurut Kochhar bahwa belajar itu akan sukses apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu:
a. Belajar merupakan sebuah kegiatan yang dibutuhkan oleh siswa; yakni siswa merasa perlu akan belajar. Semakin kuat keinginan siswa untuk belajar, maka akan semakin tinggi tingkat keberhasilannya.
b. Ada kesiapan untuk belajar; yakni kesiapan siswa untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru, baik pengetahuan maupun keterampilan. (Rosyada, 2004: 99)
2. Prinsip-prinsip belajar bagi siswa tunanetra
Lowenfeld dalam Smith (Djaja Rahadja, 1997: 77) menyatakan bahwa ada tiga prinsip yang harus dipertimbangkan dalam membimbing belajar siswa tunanetra, yaitu:
a. Pengalaman konkrit. Jika kemampuan siswa tunanetra untuk memahami lingkungan melalui penglihatan tidak ada atau terbatas, adalah penting bagi mereka memiliki kesempatan untuk menghubungkan dengan dunia melalui indera-indera yang lain. Mereka perlu ditunjukan dengan objek yang dapat disentuh atau dimanipulasi. Hal ini memberikan siswa untuk belajar tentang kualitas bentuk, ukuran, tekstur, dan orientasi yang tidak akan dipahami.
b. Menyatukan pengalaman. Orang yang awas mengalami kehidupan sebagai suatu unit. Apabila kita melihat sekitar ruang kleas, contoh, kita melihat objek yang ada di dalam ruang kelas (buku, papan tulis, meja) dan kita juga melihat hubungannya (meja guru di depan, meja siswa berderet). Kita menyatukan dengan “keseluruhan” yang ada dalam ruang kelas itu. Untuk mencapai kemampuan “menyatukan”, siswa tunanetra perlu sesring mungkin diberikan eksplorasi yang sistematik dan pengalaman melalui indera-indera lain.
c. Belajar sambil berbuat. Seorang tunanetra akan mengalami kesulitan dalam menemukan sesuatu atau akan tidak dapat “belajar dengan melihat”. Kegiatan dan keterlibatan bagi tunanetra merupakan hal yang sangat penting dalam belajar. Oleh karena itu, Siswa tunanetra harus dirangsang untuk terlibat dalam lingkungannya.
3. Aksesibilitas belajar bagi siswa tunanetra
Aksesibilitas belajar yang dimaksud adalah keseluruhan komponen yang terkait dalam proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sesuai dengan hambatan yang ditimbulkan oleh ketunanetraannya, sehingga memudahkan para siswa tunanetra itu untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolahnya. Kegiatan belajar yang diikuti siswa tunanetra ini dilakukan dalam seting sekolah reguler, yang mana sebagian besar siswanya terdiri dari siswa-siswa awas yang cara belajarnya akan berbeda dengan siswa tunanetra, walaupun tidak harus terpisah dari lingkungan belajar sekolah reguler.
Belajar bagi siswa tunanetra dalam seting sekolah inklusif menuntut guru untuk melakukan upaya penyesuaian berbagai komponen belajar dan pendukungnya dengan kondisi yang dialami siswa tunanetra, agar kegiatan belajar dapat diikutinya dengan mudah, dan pada gilirannya dapat mengembangkan kemampuan dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Komponen belajar dan pendukungnya yang mungkin perlu penyesuaian ini dapat digolongkan ke dalam bidang-bidang sebagai berikut;
a. Kegiatan belajar mengajar yang meliputi pengelolaan kelas, pengembangan kurikulum, pemilihan dan penggunaan materi, metode, media, dan evaluasi.
b. Lingkungan fisik sekolah yang meliputi sarana dan prasarana.
c. Lingkungan sosial yang berhubungan dengan pihak-pihak yang terlibat dan mendukung kegiatan belajar siswa tunanetra, seperti teman-temannya, orang tua, guru, dan masyarakat serta stakeholders lainnya.
Disamping aspek tersebut di atas, ada hal yang paling penting untuk diperhatikan dan dilakukan oleh guru dalam menciptakan aksesibilitas belajar sebelum kegiatan belajar itu berlangsung, yaitu adaptasi ruang kelas. Kegiatan guru yang dapat dilakukan untuk mengadaptasi ruang kelas, terutama bagi siswa yang masih memiliki sisa penglihatan, adalah:
a. Tentukan dimana tempat yang paling baik dan tepat bagi siswa agar dapat melihat papan tulis, contoh kapan dia duduk di depan kelas.


b. Cahaya tidak mantul ke mata siswa sehingga silau, dan yakinkan bahwa tulisan jelas di papan tulis.
c. Jika mata siswa sensitif terhadap cahaya, pindahkan dia dari jendela. Gunakan ujung peci untuk manaungi matanya.
d. Yakinkan siswa mengetahui jalannya di sekitar sekolah dan ruang kelas. Guru dan siswa yang melihat harus menuntun dia dengan berjalan di depan siswa tunanetra sedikit di belakang dan menyamping; pegang erat pada siku pembimbing. (UNESCO,2001:50)
Dengan demikian, bahwa aksesibilitas berlajar bagi siswa tunanetra meliputi aksesibilitas belajar fisik dan non-fisik. Aksesibilitas belajar fisik adalah yang berkrenaan dengan sarana-prasarana belajar yang dipergunakan untuk membantu siswa tunanetra bias belajar dengan baik, seperti lapangan olah raga, ruang kelas, perpustakaan, alat bantu belajar, atau media khusus lainnya. Sedangkan aksesibilitas belajar non-fisik menyangkut sikap positif semua anggota sekolah terhadap keberadaan siswa tunanetra yang dapat membantu mendorong motivasi belajarnya dengan baik, seperti sikap menerima secara terbuka, menghargai, toleransi sesama teman, tolong menolong, ramah, dan hangat.
Pada dasarnya bahwa pembelajaran perlu dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan semua siswa termasuk siswa tunanetra dapat belajar secara aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM). Menurut Sediono, dkk. (2003: 7) bahwa pembelajaran yang dapat mendorong siswa aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan adalah pembelajaran yang: (a) menggunakan berbagai metode; (b) menggunakan berbagai media pembelajaran; (c) berisi berbagai kegiatan; d) menggunakan berbagai sumber belajar; (e) memperhatikan perbedaan individu siswa; (f) tidak membuat siswa takut. Selanjutnya juga dikatakan behwa pelaksanaan pakem perlu: (a) memahami sifat yang dimiliki siswa; (b) mengenal siswa secara perorangan; (c) memanfaatkan perilaku siswa; (d) mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah, (e) mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik; (f) memanfaatkan lingkungan sebagi sumber belajar; (g) memberikan umpan balik uang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar; (h) membedakan antara aktif fisik dan aktif mental.
Dalam penyampaian pengembangan konsep dasar hendaknya jangan melupakan kemampuan-kemampuan yang perlu diberikan dan dievaluasikan terhadap anak tunanetra.
Jenis-jenis kemampuan yang perlu diberikan, sbb :
a. Identifikasi, yaitu untuk mengetahui dan mengenal suatu objek.
b. Deskripsi, yaitu menjelaskan susunan suatu objek
c. Labelling, yaitu memberi tanda (label) pada suatu benda baik mengenai isi (volume), keadaan ataupun bentuk benda tersebut.
d. Grouping, yaitu mengelompokkan benda yang mempunyai ciri-ciri khas.
e. Sorting, yaitu menyortir benda-benda sesuai dengan kebutuhannya
f. Ordering, yaitu menyusun sehingga menjadi satu urutan yang sistematis
g. Copyng, yaitu menirukan sesuai dengan aslinya.
h. Paterning, yaitu memberi contoh, pola, model atau petunjuk.
i. Contrasing, yaitu membedakan dua atau lebih suatu benda.

Cara penyampaian dan aktivitas dalam pengembangan konsep dasar. Konsep Dasar Tubuh, yaitu gambaran tunanetra mengenai bagian-bagian tubuh yang ada hubungannya dengan kegunaan dan bagian-bagian dari tubuhnya atau tubuh orang lain. Konsep dasar tubuh ini dikategorikan pada beberapa bagian, amtara lain:
1) Bidang tubuh, yaitu lokasi seseorang sehubungan dengan bidang tubuhnya, seperti; sisi, depan, atas, belakang, bawah.
2) Bagian-bagian tubuh, yaitu kemampuan mengenal dan memberi nama bagian-bagian tubuh.
3) Gerak tubuh, yaitu kemampuan untuk mengenal dan mengetahui nama gerakan-gerakan tubuh, seperti ; berputar, gerakan kesamping, kebelakang, maju, mundur, dll.
4) Arah, yaitu kemampuan mengetahui, mengenal dan memberi nama arah, seperti; kearah kiri, ke arah kanan, ke arah belakang, kearah depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar